Adzan Subuh mulai riuh terdengar dari pengeras suara di masjid dan surau. Aku terbangun dan mulai mengumpulkan segenap kesadaran. Pagi hari dan ini hari Senin. Ah mungkin aku mulai terjangkiti sindrom “I hate Monday.” Karena Senin itu artinya kerja, deadline laporan keuangan juga laporan administrasi karyawan mingguan. Senin juga berarti apel pagi yang lamaaa. Mengingatkan hari Senin saat di SD dulu yang selalu diawali dengan upacara bendera.
Sarapan dan seduhan teh hangat lumayan memperbaiki suasana hati. Dengan semangat pagi aku berangkat kerja, menikmati udara pagi yang bercampur deru knalpot kendaraan yang bersliweran di Kota Madiun. Entah jalan kota yang mengecil atau jumlah kendaraan yang membludak, jalanan kota ini terasa kian sesak. Pengendara roda dua saling menerobos, zig zag diantara celah kendaraan demi bisa tiba di tujuan lebih dulu.
Setelah perjuangan dijalanan, akhirnya aku sampai di kantor pukul 06.45, belum terlambat. Kalau terlambat wah bisa kena sanksi administrasi, masa petugas absensi yang biasa memberi peringatan malah terlambat juga…kan tidak lucu.
Hingga tiba saat rapat dengan pimpinan, Pak Joni bos kami, dia baru pulang mengikuti kegiatan di kantor pusat, hari ini sukses membuat kami semua terkejut dengan tugas baru yang tak biasa.
“Tugas baru bagi karyawan semua, kalian harus membuat gambar impian masing masing, kemudian pasang dalam bingkai. Nanti masing-masing mempresentasikan impiannya, dan dibuat detail langkah-langkah untuk mencapai impian tersebut.” Demikian perintah pak Joni.
“Itu harus pak?” tanya salah satu karyawan.
“Harus dan kaitkan impian mu dengan pekerjaanmu di kantor ini,“ jawab pak Joni.
“Mati aku! Impian pribadi kok harus diceritakan ke orang lain, ya kalo orang lain responnya positif, la kalo maido!” batinku dalam hati.
“Minggu depan harus sudah membuat bingkai gambar impian, presentasikan di depan teman–teman kerjamu, ini perintah” tegas pak Joni lagi.
Sepanjang hari aku bekerja sambil menggerutu, HRD ini kurang kerjaan aja malah nambah kerjaan karyawan lain. Ngapain juga HRD ngurusi impian tiap karyawan?? Laporan rutin saja sudah menunggu ditambahi tugas menceritakan impian yang belum tentu bisa kita raih.
Seminggu berlalu.
Dan tiba saatnya satu persatu karyawan mempresentasikan impiannya. Ada Handri yang mempresentasikan impiannya dengan sedih, ingin punya rumah sendiri. Sementara ini Ia masih tinggal dengan mertua, sebagai menantu laki–laki merasa malu bila tidak bisa membelikan rumah bagi keluarga kecilnya.
Ada pula Iwan yang semangat ingin punya mobil, agar bisa bepergian dengan nyaman tanpa kehujanan. Temanku yang lain dengan semangat tapi dengan gaya yang agak lucu, menyampaikan ingin punya usaha sampingan. Dengan berdalih tidak ingin selamanya menjadi karyawan terus, penghasilan cukup tapi terasa berat bila anak beranjak sekolah, butuh biaya lebih banyak.
Hampir semua cara meraih impian adalah menabung, atau dengan kredit bank, dan pada akhirnya harus semangat bekerja.
Ohhh… ini maksudnya pigura gambar impian dari HRD. Menyusun impian, menyusun detail rencana meraih impian, untuk memacu semangat kerja karyawan dan mendorong produktifitas karyawan.
Dan esok adalah giliranku presentasi impian. Biasanya aku menyusun impian di buku pribadi, sekarang harus disampaikan ke orang lain. Rasanya tidak nyaman.
Malam hari aku membuat gambar sendiri, tiga gambar, terus aku pasang pada pigura kecil yang tidak terpakai. Impian ku agak lain.
Pagi hari nya, aku maju didepan teman-teman kerja, aku pasang pigura gambar impian. Ada yang menyeletuk opo kuwi? foto ne sopo kok ayu?
“Ini impian ku, ini yg paling bawah adalah foto Erma, keponakanku. Sekarang dia masih kuliah semester 5, ini yang aku bantu biaya kuliahnya. Impianku tentang Erma adalah dia bisa menjadi pribadi mandiri, kuat dan mampu menghidupi adik-adiknya. Lalu sekilas kusampaikan cerita almarhum bapaknya yang meninggal saat Erma masih SMA, ibunya yaitu kakak perempuanku ibu rumah tangga biasa. Dulu ketika kakak perempuanku mau bekerja dilarang suaminya, karena penghasilan suami cukup untuk keluarga. Tapi kemudian suaminya meninggal saat usia 40 tahun, meninggalkan anak tiga. Kakakku tidak biasa bekerja, jadi kesulitan menghidupi anaknya,” ujarku mengawali presentasi
“Balajar dari kisah kakakku, aku ingin berpesan kepada teman-teman perempuan agar tetap bekerja, karena suami tidak selamanya bisa bersama dan menghidupi keluarga. Sewaktu-waktu bisa pergi diambil Tuhan atau diambil orang. Sedangkan harapanku untuk teman-teman yang laki–laki, berilah kesempatan agar istrinya bisa berkarya entah apapun bentuknya. Karena kerja itu bukan hanya masalah penghasilan tapi juga masalah mental, mental bekerja, berkarya, tidak bisa dibentuk secara instan.
Kulihat reaksi teman-temanku ada yang wajahnya berkerut, ada yang mengangguk-anggukan kepala, dan Bosku terlihat tersenyum.
“Impian keduaku, ini gambar rumah,” aku terdiam cukup lama, tak mampu meneruskan bercerita impian tentang rumah. Hanya batinku yang terus bergumam hingga aku terus larut dalam lamunan
“Rumah itu tidak sekedar bangunan fisiknya, tapi penghuninya juga. Selama ini kami merasa belum lengkap tanpa kehadiran buah hati. Aku sudah 5 tahun menikah tapi belum dikaruniani anak. Berbagai cara sudah kami coba, ke dokter, ke kyai, dukun pijat, tabib, dukun Jowo. Haduhhh…sampe bingung harus kemana lagi berusaha.”
“Kata dokter, peluang kami kecil karena suami ada masalah kesuburan serta kelainan sperma. Akhirnya kami diberi berbagai obat untuk dikonsumsi. Dari beberapa orang dokteryang kami temui, semua bilang kalau kami susah punya anak. Pernah bahkan ada yang bilang aku harus ganti suami jika ingin punya anak.”
“Sedangkan kata kyai aku ada dosa, jadi harus bertobat dan banyak berdoa.” Ya iyalah aku banyak dosa namanya manusia pasti punya dosa lah.
“Sementara kata dukun pijet, rahimku terlalu turun jadi harus dinaikkan. Dan akhirnya harus dipijat beberapa kali dan prosesnya sakit sekali.”
“Kalau tabib bilang katanya aku kurang subur, maka Ia memberi ramuan tumbuh-tumbuhan. Entah tumbuhan apa saja aku tidak tau, harus direbus dengan kuali tanah. Duh rasanya pahit. 3 hari minum aku jatuh sakit, dan kata dokter maag ku kumat, dan infeksi usus.”
“Lain lagi kata dukun Jowo, katanya energi aku dan suami kurang menyatu, ada garis merah tipis yang terhubung, seperti laying-layang saja kok ada benangnya.”
Dan tak terasa airmataku mulai merembes keluar tanpa permisi. Uraian rumah ini sangat mengaduk-aduk emosiku. Hingga aku tak mampu mengungkapkannya dihadapan rekan-rekan kerjaku. Teringat betapa sedihnya hatiku saat ada yang bilang aku mandul, gabuk. Sementara di setiap lebaran, arisan RT atau bertemu teman pasti sering ditanya punya anak berapa, kenapa belum anak?
Atau tiap ada teman perempuan dikantor yang hamil, pasti ada yang usil menyindir bahkan mencela diam-diam perihal aku yang belum punya anak.
Yang paling menyedihkan adalah kebanyakan mereka yang menyindir, mencela atau menghinaku malah kebanyakan perempuan. Aku kira perempuan lebih bisa mendukung perempuan karena lebih tahu dan paham perempuan. Tapi tidak semua perempuan begitu. Ada juga perempuan yang mulutnya lebih tajam dari pisau, lebih panjang dari pedang samurai.
Tekanan dari segala penjuru ini telah membebani pikiranku. Hingga pernah terbersit olehku minta cerai pada suamiku. Namun suamiku tidak menginginkan cerai. Takut dibilang gagal. Keluargaku terutama Bapak, juga tidak merestui aku menjadi janda, demi menjaga nama keluarga.
Perlakuan ini sungguh berbeda antara lelaki dan perempuan. Jika seorang lelaki punya istri mandul, keluarga dan masyarakat mengizinkan dia menikah lagi atau bercerai dan cari istri lagi.
Sementara perempuan, jika punya suami sulit punya anak atau mandul, harus merelakan dirinya tidak punya anak, dan harus terima disalahkan masyarakat. Jika ada pasangan tidak punya anak, siapapun yang bermasalah dengan sistem reproduksinya yang disalahkan adalah perempuan.
‘Kok diem mbak, hayo dilanjutkan impian tentang rumah?” tegur pak Joni membuyarkan lamunanku.
“Eh iya pak, masalah rumah itu termasuk penghuninya semoga segera menjadi lengkap,” jawabku.
“Maksudnya anak?” tanya salah satu teman ku.
‘Itu juga, semoga saja aku segera diberi anak, tapi cara dan detail rencananya tidak perlu cerita ya, nanti dikira porno?” kataku disambut tawa teman–temanku.
“Lalu itu gambar ketiga kok seperti pocong mbak,” tanya Pak Joni.
“Iya pak, itu perlambang kematian dan proses sebelum kematian.”
“Manusia pada akhinya pasti mati, dan sebelum mati harus menjalani hidup dengan baik. Untuk menjalani hidup baik hendaknya selalu ingat sangkan paran dumadi, yaitu Tuhan. Aku ingin menjalani hidup yang baik dengan selalu menjaga perilaku agar tetap di jalan Tuhan. Sekian dan terima kasih,” demikian aku menutup presentasi.
“Oke itu impian Mba Ari, agak serem gambar yang ketiga tadi, tapi itu adalah yang terpenting ya….tepuk tangan untuk Mba Ari,” kata pak Joni lagi.
“Semoga yang disampaikan Mb Ari tadi bermanfaat, mari berdoa agar kerjaan kita hari ini lancar, semua sehat dan diberkahi Allah,” lanjut Pak Joni sambil menutup apel pagi.
Selesai apel pagi semua karyawan kembali ke pekerjaan masing–masing. Aku masih bisa mendengar lirih bisik-bisik diruangan kerja kantor.
“Halah mungkin dasarnya mandul,” kata seorang rekan kerja.
“Halah meski punya rumah, mobil dan suami dengan gaji besar tapi apa gunanya tak punya anak?” teman yang lain menimpali.
Dan tentu saja aku pura – pura tidak dengar dan melanjutkan pekerjaan ku sendiri.
Pada akhirnya aku tetap harus menjalani hidup yang ada dengan tetap harus berusaha menjadi ibu. Semoga aku kuat. Semoga saja.
Madiun, 24 September 2016
Keterangan bahasa :
- Maido : mencela
- Opo kuwi ? foto ne sopo kok ayu? : apa itu? Fotonya siapa kok cantik?
- Gabuk : istilah untuk padi yang tidak ada isinya
- Sangkan paran dumadi : Darimana, menuju dan kembali asal mula manusia
Kerennnn…inspiratif
heheheheheh …. mrebes …. harus teap sabar